Ada yang mengatakan,
hikmah dari difardhukannya puasa tiga puluh hari ialah, bahwa nenek moyang
kita, Adam a.s ketika memakan buah
pohon dalam Surga, maka buah itu tetap tinggal dalam perutnya selama tiga puluh
hari. Dan tatkala dia bertaubat kepada Allah
Ta’ala, maka Allah menyuruhnya
berpuasa tiga puluh hari tiga puluh malam. Karena kelezatan dunia itu ada
empat: makan,
minum,
bersetubuh
dan tidur.
Sesungguhnya, semua itu adalah penghalang bagi hamba terhadap Allah Ta’ala. Sedang atas Nabi Muhammad dan umatnya, Allah mewajibkan siangnya saja, dan
diwaktu malam diperbolehkan makan, hal mana merupakan karunia dari Allah Ta’ala dan kemurahan bagi kita. (Bahjatul Anwar)
Ada diceritakan, bahwa
seorang Majusi melihat anaknya di
bulan Ramadhan sedang makan di pasar, lalu dipukulnya seraya berkata: “Kenapa kamu tidak
memelihara kehormatan kaum muslimin di bulan Ramadhan?”
kemudian orang Majusi itu pun meninggal dunia. Lalu ada seorang
alim melihatnya dalam mimpi, duduk di atas singgasana kemuliaan dalam Surga.
Orang alim tersebut bertanya: “Bukankah kamu orang Majusi?”
Dia jawab: “Memang, akan tetapi di waktu mati, aku mendengar suatu
seruan dari atasku: ‘Hai malaikat-malaikat-Ku, janganlah kalian biarkan orang
itu sebagai Majusi. Muliakanlah dia dengan keislaman, karena dia menghormati
bulan Ramadhan’.”
Ini menunjukkan, bahwa setelah orang Majusi itu menghormati bulan Ramadhan, maka dia memperoleh
keimanan. Maka, apalagi orang yang berpuasa di bulan itu dan menghormatinya. (Zubdatul Majalis)
Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau menceritakan
dari Tuhannya Yang Maha Tinggi: “Tiap-tiap
kebaikan yang dilakukan anak Adam, digandakan pahalanya dari sepuluh sampai
tujuh ratus kali lipatnya, selain puasa. Karena sesungguhnya puasa itu
untuk-Ku, dan Aku sendiri yang memberi balasan atasnya.”
Para ulama berselisih
mengenai firman Allah Ta’ala:
“Puasa
itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang memberi balasan atasnya.”
Padahal semua amal adalah
untuk-Nya juga dan Dia-lah yang membalasnya.
Ø Pertama, bahwa
dalam puasa tidak terjadi riya’, seperti halnya yang terjadi pada selain puasa.
Karena pamer itu terjadi terhadap sesama manusia, sedang puasa itu tak lain adalah
sesuatu yang ada di dalam hati. Yakni, bahwasanya semua perbuatan hanya bisa
terjadi dengan gerakan-gerakan, kecuali puasa. Apapun puasa hanyalah dengan
niat yang tidak diketahui oleh sebagian orang.
Ø Kedua, bahwa
maksud dari firman-Nya:
“Dan
Aku sendiri yang memberi balasan atasnya.”
Ialah, bahwa hanya Dia
sendirilah yang mengetahui ukuran pahala puasa dan penggandaan upahnya. Adapun ibadah-ibadah
lainnya, maka dapatlah diketahui oleh sebagian orang.
Ø Ketiga, arti dari
firman-Nya:
“Puasa
itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang memberi balasan atasnya.”
Ø Keempat, Penisbatan
kepada Diri-Nya adalah penisbatan
yang berarti pemuliaan dan penggandaan, seperti kata-kata Baitullah.
Ø Kelima, Bahwa sikap
tidak memerlukan makanan dan syahwat-syahwat lainnya, adalah termasuk
sifat-sifat Tuhan. Dan oleh karena orang yang berpuasa itu mendekatkan diri
kepada Allah dengan suatu sikap yang
sesuai dengan sifat-sifat-Nya, maka
puasa itu Dia nisbatkan kepada Diri-Nya.
Ø Keenam, Bahwa
artinya memang seperti itu, tetapi dalam kaitannya dengan malaikat. Karena itu
semua adalah sifat-sifat mereka.
Ø Dan ketujuh, Bahwa
semua ibadah bisa digunakan untuk menebus penganiayaan terhadap sesama manusia,
selain puasa.
Namun demikian, para
ulama sepakat bahwa yang dimaksud puasa pada firman-Nya:
“Puasa
itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang memberi balasan atasnya.”
Ialah puasa orang, yang puasanya itu bersih dari kedurhakaan-kedurhakaan,
baik berupa perkataan maupun perbuatan. (Miftahush
Shalat)
Diriwayatkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa
berpuasa Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampunilah dosanya yang telah
lalu. Benarlah Rasulullah dalam sabdanya.”
<Prev | 1 | 3 | 5 |
Next> |
---|
No comments:
Post a Comment