Keutamaan Puasa (4)

   Ketahuilah, bahwa puasa adalah ibadah yang tak bisa diteliti oleh indra hamba Allah. Artinya, hanya diketahui oleh Allah semata dan orang yang berpuasa itu sendiri. Dengan demikian, puasa adalah merupakan ibadah antara Tuhan dengan hamba-Nya. Dan oleh karena itu puasa ini merupakan ibadah dan ketaatan yang hanya diketahui oleh Allah semata, maka ibadah ini Dia nisbatkan dengan Diri-Nya sendiri, seraya firman-Nya:
“Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang memberi balasan atasnya.”
   Dan ada pula yang mengatakan, puasa Dia nisbatkan kepada Diri-Nya, karena puasa itu seatu ibadah di mana tak pernah ada seorangpun yang menyekutukan Allah Ta’ala padanya. Karena di antaranya manusia memang ada yang menyembah dan bersujud kepada patung,  bersembahyang kepada matahari dan bulan, dan bersedekah demi patung, yaitu orang-orang kafir. Namun tidak pernah ada seorang pun di antara hamba-hamba Allah yang berpuasa demi patung, demi matahari, demi bulan, demi siang, bahkan secara murni ia berpuasa demi Allah Ta’ala. Oleh karena puasa ini merupakan ibadah yang paling tidak pernah di gunakan untuk menyembah kepada selain Allah, jadi merupakan ibadah yang murni kepada Allah Ta’ala, maka puasa Dia nisbatkan kepada Diri-Nya sendiri, seraya firman-Nya:
“Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang memberi balasan atasnya.”
 
   Kata-kata: “Wa ana ajzii bihi” (dan aku yang memberi balasan atasnya).
Artinya: atas puasanya, Aku perlakukan orang itu dengan kedermawanan ketuhanan-Ku, bukan dengan kepatutan-Ku untuk di sembah.

   Sedang Abul-Hasan mengatakan: Arti dari kata-kata “Wa anaa ajzii bihi” (dan Aku yang memberi balasan atasnya) ialah: Tiap-tiap ketaatan, pahalanya ialah Surga. Sedang puasa, pahalanya ialah pertemuan dengan-Ku. Aku memandang kepada orang itu, sedang dia memandang kepada-Ku, sedang Aku berbicara kepadanya, tanpa delegasi maupun juru bahasa. Demikian kata Al-Hasan dalam Mukhtashar ar-Raudhah. Maka hafalkanlah kata-kata itu, dan nasehatkan kepada orang lain, dan janganlah anda tergolong orang-orang yang ragu.
   Bagi orang yang berpuasa, menurut kami boleh saja menyentuh dan mencium istrinya, apabila ia tidak merasa khawatir terhadap dirinya. Tapi kalau dia khawatir dirinya melakukan persetubuhan atau mengeluarkan mani dengan hanya menyentuh, maka hal itu tidak boleh.

   Sedang menurut Sa’id bin al-Musayyab, orang yang berpuasa tidak boleh mencium dan menyentuh, baik dia merasa khawatir atau pun tidak. Karena menurut riwayat dari Ibnu Abbas, bahwasanya ada seorang pemuda menemui Ibnu Abbas, lalu bertanya kepadanya: “Bolehkan saya mencium selagi berpuasa?” jawab Ibnu Abbas: “Tidak.”
   Kemudian, datang pula kepadanya seorang tua,
Lalu berkata: “Bolehkah saya mencium selagi berpuasa?”
Jawab Ibnu Abbas: “Ya.”
   Maka pemuda tadi kembali lagi kepada Ibnu Abbas,
lalu berkata kepadanya: “Kenapa tuan halalkan untuknya, apa yang tuan haramkan atas diriku, padahal kita satu agama?”
Jawab Ibnu Abbas: “Karena dia sudah tua, dia bisa menguasai hajatnya, sedang kamu masih muda, kamu tak mampu menguasai hajatmu.” Yakni anggotamu dan auratmu. (Raudlatul Ulama)
   Ada yang mengatakan maksud dari puasa ialah untuk menundukkan musuh Allah. Karena jalan syetan itu lewat syahwat. Padahal syahwat-syahwat itu menjadi kuat tak lain karena makan dan minum. Maka puasa itu takkan berguna untuk menundukkan musuh Allah Ta’ala dan menghancurkan syahwat, selain dengan menaklukkan nafsu, dengan cara makan sedikit. Oleh sebab itu, ada diriwayatkan mengenai disyariatkannya puasa, bahwa Allah menciptakan akal,
Lalu berkata: “Menghadaplah kamu!”
maka akal pun menghadap.
Kemudian Allah berfirman: “Membelakanglah kamu!”
maka akal itu pun membelakang.
Selanjutnya, Allah bertanya: “Siapakah kamu, dan siapa Aku?”
Akal menjawab: “Engkau Tuhanku, dan aku hamba-Mu yang lemah.”
Maka Allah Ta’ala pun berfirman: “Hai akal, Aku tidak menciptakan satu makhluk pun yang lebih mulia dari kamu.”
  Selanjutnya Allah Ta’ala menciptakan nafsu,
Lalu berfirman kepadanya: “Menghadaplah kamu!”
Namun , nafsu itu tidak mematuhi.
Kemudian Allah bertanya kepadanya: “Siapakah kamu, dan siapa Aku?”
Jawab nafsu: “Aku adalah aku dan Kamu adalah Kamu.”
Maka di azablah nafsu itu oleh Allah dalam Neraka Jahanam selama seratus tahun, kemudian dikeluarkan lagi,
lalu bertanyalah Allah: “Siapakah kamu dan siapa Aku?”

Namun, nafsu itu tetap menjawab seperti tadi, hingga kemudian ditaruh dalam Neraka Lapar seratus tahun lamanya, lalu ditanya Allah, barulah dia mengaku bahwa dirinya adalah hamba, sedang Dia adalah Tuhan. Maka, oleh sebab itulah, Allah mewajibkan atasnya berpuasa. (Misykat)
<Prev  1 
 2 
 3 
 4 
 5 
Next>

No comments:

Post a Comment

Bergabunglah bersama kami dalam mengelola perdagangan Nasional.
"Kami telah siap melayani anda di Seluruh Indonesia"