Ketahuilah, bahwa puasa
adalah ibadah yang tak bisa diteliti oleh indra hamba Allah. Artinya, hanya diketahui oleh Allah semata dan orang yang berpuasa itu sendiri. Dengan demikian,
puasa adalah merupakan ibadah antara Tuhan dengan hamba-Nya. Dan oleh karena itu puasa ini merupakan ibadah dan ketaatan
yang hanya diketahui oleh Allah
semata, maka ibadah ini Dia
nisbatkan dengan Diri-Nya sendiri,
seraya firman-Nya:
“Puasa
itu untuk-Ku, dan Aku yang memberi balasan atasnya.”
Dan ada pula yang
mengatakan, puasa Dia nisbatkan
kepada Diri-Nya, karena puasa itu
seatu ibadah di mana tak pernah ada seorangpun yang menyekutukan Allah Ta’ala padanya. Karena di
antaranya manusia memang ada yang menyembah dan bersujud kepada patung, bersembahyang kepada matahari dan bulan, dan
bersedekah demi patung, yaitu orang-orang kafir. Namun tidak pernah ada seorang
pun di antara hamba-hamba Allah yang
berpuasa demi patung, demi matahari, demi bulan, demi siang, bahkan secara
murni ia berpuasa demi Allah Ta’ala.
Oleh karena puasa ini merupakan ibadah yang paling tidak pernah di gunakan
untuk menyembah kepada selain Allah,
jadi merupakan ibadah yang murni kepada Allah
Ta’ala, maka puasa Dia nisbatkan
kepada Diri-Nya sendiri, seraya
firman-Nya:
“Puasa
itu untuk-Ku, dan Aku yang memberi balasan atasnya.”
Kata-kata: “Wa ana ajzii
bihi” (dan aku yang memberi
balasan atasnya).
Artinya: atas puasanya, Aku perlakukan orang itu dengan
kedermawanan ketuhanan-Ku, bukan
dengan kepatutan-Ku untuk di sembah.
Sedang Abul-Hasan mengatakan: Arti dari
kata-kata “Wa
anaa ajzii bihi” (dan Aku yang
memberi balasan atasnya) ialah: Tiap-tiap ketaatan, pahalanya ialah Surga.
Sedang puasa, pahalanya ialah pertemuan dengan-Ku. Aku memandang kepada
orang itu, sedang dia memandang kepada-Ku,
sedang Aku berbicara kepadanya,
tanpa delegasi maupun juru bahasa. Demikian kata Al-Hasan dalam Mukhtashar ar-Raudhah. Maka hafalkanlah kata-kata
itu, dan nasehatkan kepada orang lain, dan janganlah anda tergolong orang-orang
yang ragu.
Bagi orang yang berpuasa,
menurut kami boleh saja menyentuh dan mencium istrinya, apabila ia tidak merasa
khawatir terhadap dirinya. Tapi kalau dia khawatir dirinya melakukan
persetubuhan atau mengeluarkan mani dengan hanya menyentuh, maka hal itu tidak
boleh.
Sedang menurut Sa’id bin al-Musayyab, orang yang
berpuasa tidak boleh mencium dan menyentuh, baik dia merasa khawatir atau pun
tidak. Karena menurut riwayat dari Ibnu
Abbas, bahwasanya ada seorang pemuda menemui Ibnu Abbas, lalu bertanya kepadanya: “Bolehkan saya mencium selagi berpuasa?”
jawab Ibnu Abbas: “Tidak.”
Kemudian, datang pula
kepadanya seorang tua,
Lalu berkata: “Bolehkah saya mencium selagi berpuasa?”
Jawab Ibnu Abbas: “Ya.”
Maka pemuda tadi kembali
lagi kepada Ibnu Abbas,
lalu berkata kepadanya: “Kenapa tuan halalkan untuknya, apa yang tuan haramkan atas
diriku, padahal kita satu agama?”
Jawab Ibnu Abbas: “Karena dia
sudah tua, dia bisa menguasai hajatnya, sedang kamu masih muda, kamu tak mampu
menguasai hajatmu.” Yakni anggotamu dan auratmu. (Raudlatul Ulama)
Ada yang mengatakan
maksud dari puasa ialah untuk menundukkan musuh Allah. Karena jalan syetan itu lewat syahwat. Padahal syahwat-syahwat
itu menjadi kuat tak lain karena makan dan minum. Maka puasa itu takkan berguna
untuk menundukkan musuh Allah Ta’ala
dan menghancurkan syahwat, selain dengan menaklukkan nafsu, dengan cara makan
sedikit. Oleh sebab itu, ada diriwayatkan mengenai disyariatkannya puasa, bahwa
Allah menciptakan akal,
Lalu berkata: “Menghadaplah
kamu!”
maka akal pun menghadap.
Kemudian Allah
berfirman: “Membelakanglah
kamu!”
maka akal itu pun membelakang.
Selanjutnya, Allah
bertanya: “Siapakah kamu, dan
siapa Aku?”
Akal menjawab: “Engkau Tuhanku, dan aku hamba-Mu yang lemah.”
Maka Allah Ta’ala pun
berfirman: “Hai
akal, Aku tidak menciptakan satu makhluk pun yang lebih mulia dari kamu.”
Selanjutnya Allah Ta’ala menciptakan nafsu,
Lalu berfirman kepadanya: “Menghadaplah kamu!”
Namun , nafsu itu tidak mematuhi.
Kemudian Allah bertanya kepadanya: “Siapakah kamu, dan siapa Aku?”
Jawab nafsu: “Aku adalah aku dan Kamu adalah Kamu.”
Maka di azablah nafsu itu oleh Allah dalam Neraka Jahanam selama
seratus tahun, kemudian dikeluarkan lagi,
lalu bertanyalah Allah:
“Siapakah kamu dan
siapa Aku?”
Namun, nafsu itu tetap menjawab seperti tadi, hingga kemudian
ditaruh dalam Neraka Lapar seratus tahun lamanya, lalu ditanya Allah, barulah dia mengaku bahwa
dirinya adalah hamba, sedang Dia
adalah Tuhan. Maka, oleh sebab itulah, Allah mewajibkan atasnya berpuasa. (Misykat)
<Prev | 1 | 3 |
4
| 5 |
Next> |
---|
No comments:
Post a Comment